Mengapa harus ada strata sosial?
Kenapa harus ada orang berdasi dengan jasnya dan di lain tempat kita melihat orang bahkan tanpa sehelai benang pun di tubuhnya?
Di sebuah panggung musik, ada sang musisi dan di depannya berdiri ratusan ribu penonton yang menikmati suguhan sang artis. Di sebuah pengadilan ada hakim dengan jubahnya duduk di podium menghakimi terdakwa dengan baju tahanannya disaksikan puluhan hadirin dari berbagai strata.
Kembali. Mengapa harus ada strata?
Kita dijejali tentang perbedaan tiap harinya, bahkan mungkin tiap detik, tipa hembusan nafas kita. Ada tetangga depan rumah yang berkulit hitam, sedangkan di samping tinggal pasangan berkulit kuning. Di ruangan kerja duduk bersama dengan orang suku pedalaman dan si bos merupakan keturunan raja di pulau terpadat penduduk di negeri ini. Sekali lagi kita diajarkan akan perbedaan.
Ataukah bukan strata yang salah?
Bagaimana dengan dia yang memuja Dewa-nya? Mereka yang tiap akhir pekan berbondong-bondong ke Gedung yang dipuncaknya terdapat lambang itu? Lalu mereka yang lain yang tiap hari sebanyak 5 kali bersujud di surau?
Kita melihat lagi perbedaan.
Bukan strata, bukan agama, bukan suku.
Kita diracuni oleh perbedaan. Kita diarahkan untuk menggali perbedaan tanpa pernah kita sadari. Pola pikir kita didikte untuk melihat perbedaan. Cara pandang kita diarahkan untuk menilai orang dan membandingkannya dengan diri kita. Batin kita dirasuki iblis yang mengajak untuk membeda-bedakan. Dia anak orang kaya, saya hanya dari keluarga pas-pasan. panjenengan miskin, saya kaya. Saya islam, panjenengan hindu. Dia cantik, panjenengan jelek. Dia pintar, kalian bodoh. Begitu banyak kita diajarkan antonim, kita tumbuh menjadi orang yang melihat perbedaan dengan orang lain.
Sebagai manusia kita lupa, kita menuruti nafsu. Mata kita tertutup oleh perbedaan yang ditanamkan pada kita sejak lahir, sejak masih kecil. Kita lupa satu hal bahwa kita sama, kita manusia. Kita dibuat lupa bahwa kita adalah makhluk Allah. Kita diarahkan untuk tidak melihat kita sama, Bangsa Indonesia.
Bukankah akan lebih indah kalau kita melihat kesamaan yang ada pada diri kita dengan menomorsekiankan "perbedaan". Jika perbedaan terus yang kita lihat, maka apakah kita kemudian bisa menerima persamaan diantara kita.
Contohnya saya mau berteman dengan panjenengan, tapi yang pertama saya pikirkan adalah anda orang kaya sedangkan saya hidup seadanya. Apakah kemudian segalanya akan berjalan baik? Belum tentu. Saya terlebih dahulu menstimulasi pikiran saya membuat pagar pembatas antara saya si miskin dengan panjenengan si kaya. Bahwa kemudian akhirnya saya berteman dengan panjenengan, saya melihat persamaan dengan sampeyan tapi kemudian otak saya berkata tentang kaya dan miskin. Mungkin saja lama-kelamaan saya menjadi minder dan seterusnya hingga kahirnya kita tidak lagi berteman.
Bagaimana kalau sejak pertama yang saya lihat adalah saya dan panjenengan orang Indonesia. Berasal dari negeri yang sama. Kemudian kita berteman dan menemukan perbedaan-perbedaan dalam hubungan pertemanan kita. Saya tetap mengingat bahwa panjenengan sama dengan saya.
Bukankah lebih indah bila kita hidup dengan melihat banyak persamaan antara kita tanpa terus melihat perbedaan yang ada? Saya tinggal dengan 6 orang teman yang berbeda asal-usulnya. Berbeda suku dan agama bukan menjadi halangan untuk bersahabat bukan? Karena kami awalnya menyadari bahwa kami sama dalam hal keberadaan sebagai manusia. Bahwa ternyata di dalam rumah banyak terdapat perbedaan, toh tidak sampai membauat kami berbuat kekerasan.
Saya prihatin dengan kekerasan yang terjadi di negeri ini. Hampir tiap minggunya saya mendengar begitu banyak peristiwa kekerasan. Saya jenuh, saya bosan. Alasan dibalik semua tindakan tersebut adalah "perbedaan". Kita terus membicarakan perbedaan dan lupa kalau kita mempunyai banyak kesamaan.
Selamat Isra' Mi'raj. Sudahkah panjenengan beramal baik hari ini?
Kenapa harus ada orang berdasi dengan jasnya dan di lain tempat kita melihat orang bahkan tanpa sehelai benang pun di tubuhnya?
Di sebuah panggung musik, ada sang musisi dan di depannya berdiri ratusan ribu penonton yang menikmati suguhan sang artis. Di sebuah pengadilan ada hakim dengan jubahnya duduk di podium menghakimi terdakwa dengan baju tahanannya disaksikan puluhan hadirin dari berbagai strata.
Kembali. Mengapa harus ada strata?
Kita dijejali tentang perbedaan tiap harinya, bahkan mungkin tiap detik, tipa hembusan nafas kita. Ada tetangga depan rumah yang berkulit hitam, sedangkan di samping tinggal pasangan berkulit kuning. Di ruangan kerja duduk bersama dengan orang suku pedalaman dan si bos merupakan keturunan raja di pulau terpadat penduduk di negeri ini. Sekali lagi kita diajarkan akan perbedaan.
Ataukah bukan strata yang salah?
Bagaimana dengan dia yang memuja Dewa-nya? Mereka yang tiap akhir pekan berbondong-bondong ke Gedung yang dipuncaknya terdapat lambang itu? Lalu mereka yang lain yang tiap hari sebanyak 5 kali bersujud di surau?
Kita melihat lagi perbedaan.
Bukan strata, bukan agama, bukan suku.
Kita diracuni oleh perbedaan. Kita diarahkan untuk menggali perbedaan tanpa pernah kita sadari. Pola pikir kita didikte untuk melihat perbedaan. Cara pandang kita diarahkan untuk menilai orang dan membandingkannya dengan diri kita. Batin kita dirasuki iblis yang mengajak untuk membeda-bedakan. Dia anak orang kaya, saya hanya dari keluarga pas-pasan. panjenengan miskin, saya kaya. Saya islam, panjenengan hindu. Dia cantik, panjenengan jelek. Dia pintar, kalian bodoh. Begitu banyak kita diajarkan antonim, kita tumbuh menjadi orang yang melihat perbedaan dengan orang lain.
Sebagai manusia kita lupa, kita menuruti nafsu. Mata kita tertutup oleh perbedaan yang ditanamkan pada kita sejak lahir, sejak masih kecil. Kita lupa satu hal bahwa kita sama, kita manusia. Kita dibuat lupa bahwa kita adalah makhluk Allah. Kita diarahkan untuk tidak melihat kita sama, Bangsa Indonesia.
Bukankah akan lebih indah kalau kita melihat kesamaan yang ada pada diri kita dengan menomorsekiankan "perbedaan". Jika perbedaan terus yang kita lihat, maka apakah kita kemudian bisa menerima persamaan diantara kita.
Contohnya saya mau berteman dengan panjenengan, tapi yang pertama saya pikirkan adalah anda orang kaya sedangkan saya hidup seadanya. Apakah kemudian segalanya akan berjalan baik? Belum tentu. Saya terlebih dahulu menstimulasi pikiran saya membuat pagar pembatas antara saya si miskin dengan panjenengan si kaya. Bahwa kemudian akhirnya saya berteman dengan panjenengan, saya melihat persamaan dengan sampeyan tapi kemudian otak saya berkata tentang kaya dan miskin. Mungkin saja lama-kelamaan saya menjadi minder dan seterusnya hingga kahirnya kita tidak lagi berteman.
Bagaimana kalau sejak pertama yang saya lihat adalah saya dan panjenengan orang Indonesia. Berasal dari negeri yang sama. Kemudian kita berteman dan menemukan perbedaan-perbedaan dalam hubungan pertemanan kita. Saya tetap mengingat bahwa panjenengan sama dengan saya.
Bukankah lebih indah bila kita hidup dengan melihat banyak persamaan antara kita tanpa terus melihat perbedaan yang ada? Saya tinggal dengan 6 orang teman yang berbeda asal-usulnya. Berbeda suku dan agama bukan menjadi halangan untuk bersahabat bukan? Karena kami awalnya menyadari bahwa kami sama dalam hal keberadaan sebagai manusia. Bahwa ternyata di dalam rumah banyak terdapat perbedaan, toh tidak sampai membauat kami berbuat kekerasan.
Saya prihatin dengan kekerasan yang terjadi di negeri ini. Hampir tiap minggunya saya mendengar begitu banyak peristiwa kekerasan. Saya jenuh, saya bosan. Alasan dibalik semua tindakan tersebut adalah "perbedaan". Kita terus membicarakan perbedaan dan lupa kalau kita mempunyai banyak kesamaan.
Selamat Isra' Mi'raj. Sudahkah panjenengan beramal baik hari ini?